Minggu, 12 Desember 2010

Soul of Fire

Jiwa api tertanam pada kayu, yang bila sampai pada tungku, ia membakar udara, berubah jadi cahaya. Padanya kaki berpijak pada bumi, isyaratkan sahaja, rentasi jalan panjang matahari. Ia adalah matahari kecil yang menyusup atap langit, menuruni awan, lalui puncak lereng gunung. Hingga tiba di atas dahan, disemai dalam tunas, lantas mengubah bentuk dalam kuncup. Keagungan matahari pun redup saat telaga membasuh akar-akarnya. Murnikan kembali tibanya ia diasuhan bumi, menjaga harmoni. Dahan-dahan mudanya bernyanyi, menari bersama angin, menyapa kicauan burung, menjadi tempat berlindung bagi sayap-sayap kecil. Terlupakan keterhempasannya dari ranah semesta, keterhempasan yg tak pernah dipertanyakannya, atau mungkin memang tak ada yg perlu dipertanyakan. Sebab jawaban-jawaban telah tersedia, terhampar acak di depan mata, terserak bagai kepingan puzzle. Terkadang semua kepingan itu sekejap tersusun rapi dalam satu sentuhan, bernama keikhlasan. Sehingga keterhempasan pun dipahaminya sebagai perihal cara untuk menjadi.

Sejatinya sebatang kayu memang tak pernah bisa menjelma matahari. Sejatinya sebatang kayu tak menguasai angkasa, tak berbincang pada rembulan, bahkan tak pernah bisa merayu bintang. Namun pada kayu telah tertanam jiwa api, dengannya ia menjadi dahan dan ranting, menjadi bakti, menjadi keteduhan. Ia pun mampu bersenandung pada bumi, menyapa rumput ditepi sungai, bersenda gurau dengan warna bunga dan kupu-kupu manja. Ia jiwa api telah tertanam pada kayu. Sejatinya jua ia adalah jiwa matahari, yang bila sampai pada tungku, ia akan membakar udara, dan segera ia menjelma jadi cahaya.

(CM/201008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar