Minggu, 12 Desember 2010

Heaven Her Own

Kemudian rentetan cerita kemarin pun berduyun-duyun datang dalam ruang ingatan. Scene demi scene melintas perlahan, bahkan imaji mengali lebih dalam, jauh ke pelosok masa kanak-kanak, yang semakin kabur dan terlupakan. Menerawangi rasa dalam timangannya, bagaimana ia membisikan manis ucapan sayang, bagaimana ia mendendangkan lagu pengantar tidur. Telah ia limpahkan seluruh hidup pada si buah hati, relakan waktu mengikis tenaganya. Terjaga bersama malam, saat dunia terlelap, sambil memandang dan menitipkan doa supaya kelak, buah hatinya membawa kebaikan bagi sesama. Kesabaran itu terus mengiringi hari, minggu, bulan, dan tahun. Semakin berlalu semakin menebal cinta dan harapan. Semakin rimbun ia menaungi tubuh kecil yang merangkak dan mulai berdiri. Lantas melangkah, berlari kesana-kemari. Besar peduliny, tak ingin dunia mempecundangi, ia menata pribadi buah hati dengan ilmu, dengan norma, dengan batas-batas dogma yang terkadang terasa mengungkungi kebebasan. Semua karena besar cintanya tak ingin si buah hati terluka diliarnya dunia.

Kedewasaan untuk memuliakan kini diuji, si buah hati tak bisa lagi disembunyikan dari dunia. Ia relakan melepas buah hatinya menghadapi kejam dunia. Meski resah selalu datang, dapatkah si buah hati berdiri dalam amukan zaman. Tantangan pun menyeringai siap menerkam, sisi-sisi gelap tenang sembunyi bagai ranjau menunggu mangsa. Belantara kota memanjakan, merayu setiap penghuni, aktualisasi diri tak lagi lahir dari prestasi, semua diganti topeng. Kesibukan mengikis rasa peduli, menjelma sekat-sekat pembatas kerinduan yang mestinya terus terjaga. Seiring berlalu waktu, si buah hati kini berani menyanggah kata-katanya, menentang perintahnya, bahkan sempat melukai perasaannya. Tak lagi ingat segala nasihat. Ketika itu datang beruntun problematika hidup, keterpurukan, benturan, kelimbungan, dan terhempas, dunia menyayat dan mencabik. Terngiang kembali suara lembut yang sempat diacuhkan. Nada-nada yang dianggap sumbang dan hanya menghalangi langkah kebebasan. Nasihat-nasihat yang pernah dicibirkan, digerutui, dicemooh, dibiarkan menguap bersama kesal helaan nafas. Kini mulai terbukti segala materi tak pernah bisa membeli kebahagiaan dalam diri.

Dan keterpautan jiwa itu, membuatnya kembali meraih si buah hati, menegadahkan tangan menyambut remuk redam itu, menyambut air mata dan segala luka. Membasuh keluh dengan tatap sayangnya dan memberi kembali harapan. Meski telah banyak si buah hati mengecewakannya. Namun cintanya selalu bersemi sepanjang jalan, sepanjang zaman, tak pernah lekang. Selalu hatinya terbuka sebagai tempat berpulang, tempat merenung kembali akan sesungguh-sungguh arti kebahagiaan. Keikhlasan, pengorbanan yang tak pernah pintakan pamrih. Bagaimana jerih payah membesarkan. Menuntun berjalan, mengajari bersepeda, memandu mengeja huruf, memandikan, menyiapkan sarapan, mengobati sakit, menyiapkan bekal, menjahitkan seragam yang copot kancingnya, membelikan buku, menyemangatinya untuk menjadi juara kelas, menunggunya pulang larut malam.

Ia, seperti matahari bagi bumi, begitu anggun merupa fajar, begitu tegas memberi terik siang, begitu elok melaku senja, bahkan dalam rintik hujan pun, ia mampu menjadi pelangi. Sebagaimana jua karang di lautan, ia begitu kokoh didera arus, silih berganti masalah bagai gelombang, pasang surut, namun jauh didasar ia masih menyimpan keindahan koral, membuat rumpon tempat ikan kecil berlindung. Dan ia bagai mawar, menjaga kuncup penerusnya dengan duri-duri tajam, sehingga liar dunia tak sanggup membuat layu, sementara doa-doa diterbangkan bersama keharuman, agar kelak keharuman itu, sejati melekat dari bumi sampai langit. Hingga kelak ia mewariskan si buah hatikeagungan akan surga, yang ada di bawah telapak kakinya.

(CM/221208)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar