Minggu, 12 Desember 2010

A Listener

Aku mengerti nyanyi hembus angin yang iramanya menerpa tangkai bambu dan menyentuh bahu dahan hingga embun sahaja itu menyapa tanah basah di pagi hari. Aku mengerti senandung sayap-sayap kenari yang genit menari di bawah kanopi daun saat lembut matahari menyentuh memberi peluk kehangatannya. Aku mengerti untaian tembang sungai kecil yang arusnya terbelah di batu lantas turun menggenangi dataran menyorong-nyorongkan bunga warna kecil seperti hendak mengajaknya bermain. Aku mengerti lirih melodi bintang malam yang teratur berkerlipan bersahutan satu dengan lainnya, satu dengan ratusan, satu dengan ribuan, mungkin lebih dari itu. Aku coba membaca setiap rangkaian nada-nada hati. Namun semakin kulelap menerjemahkan, semakin sulit kupahami. Aku meninggikan lagu keinginan diri sampai batas langit, terus sampai lantainya, menuju tirai-tirai tipisnya.

Waktu pun turun mendendangkan lagu keinginanku dengan lirih. Hingga telingaku meraba-raba dalam ruang akan melodi apa yang terdengarkan. Melodi yang sulit kupahami dan kucoba mendendangkannya kembali. Ini bukan lagu yang kuingin, ataukah hasrat keangkuhanku yang telah menutupi terang telingaku. Aku seperti pendengar yang dungu, seperti pemerhati yang tak peduli, seperti pemenang yang jadi pecundang. Tak ada yang salah dengan langit, hanya telinga dan ruang hatiku yang belum bisa menerjemahkan keindahan lagu-lagu itu. Terlalu banyak keangkuhan melemahkan diriku, menutupi pori-pori kepekaanku akan rasa kesyukuran. Aku malu dengan keinginanku sendiri, aku malu dengan alam yang selalu bisa menerjemahkan nada-nada kasih itu. Aku malu belum mampu mendendangkan nada-nada sederhana dalam jiwa, yang semestinya bisa meredam nada-nada fatamorgana.

(CM/240809)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar