Minggu, 12 Desember 2010

Consciousness

Ampuni aku Tuhan, terlalu banyak kuberbicara dan kadang lisanku menyakiti hati orang lain. Ampuni aku karena perilaku keangkuhanku yang sebenarnya tak pantas dihadapanMu. Ampuni aku karena seringkali lalai memenuhi kesempurnaan ibadah kepadaMu. Ampuni aku karena belum sepenuhnya mensyukuri segala karunia dan anugerahMu. Ampuni aku sebab banyak menentang segala ketetapanMu, padahal kumeyakini segalanya untuk kebaikanku. Ampuni aku Tuhan, sebab kebodohanku menghaturkan kemarahanku padaMu. Ampuni aku karena masih belum sanggup memahami segala tanda kasih sayangMu, sehingga seringkali aku banyak mengeluh. Ampuni aku karena masih sedikitnya kesantunanku kepada banyak orang.

Segalanya bagiku, dariMu adalah bentuk keajaiban, adalah bentuk kuasaMu. Aku seperti nahkoda di tengah samudera, lantas Kau tundukkan badai bagiku sehingga layarku berkembang dan menangkap angin, lantas kau nyalakan bintang malam bagiku sehinggaku memahami kemana haluan kuputar arahnya. Aku bagai musafir dihamparan padang pasir, lantas Kau jua sibakkan segala fatamorgana dan sampaikan kakiku pada oase dibawah rindang pepohonan. Kau pertemukan aku pada bermacam orang, dan Kau karibkan aku dengan banyak sahabat yang mengingatkanku akan kebaikan. Tuhanku setiap kali aku berdoa, aku tak tahu ingin kupintakan apa padaMu, karena Kau mengetahui segala isi hatiku, aku malu meminta kepadaMu, teramat banyak dosaku. Ud uni astajib lakum (mintalah, akan Aku kabulkan), seperti itulah kasih sayangMu, perhatianMu yang seringkali aku sepelekan. Tuhanku banyak keajaiban telah Kau wujudkan, maka mudahkan aku dalam berbuat baik, agar kebaikan itu bisa mengantarkan aku pada kasih dan ampunanMu.

(CM/030110)

Madness

Dawai mendayu ruang menderu, wangi mawar jadi tirai udara pada langit, dipan berserakan kata tak bertaut seperti mozaik usang, pujangga hari lalu ialah roman bisu, waktu menepuk pundaknya seraya suguhkan cawan anggur biar mabuk rasa dan fatamorgana memanggil cinta dari bayang-bayang. Riuh suara bertaburan acak, meliuk dalam labirin rasa tiada ujung. Mimpi imaji relung hati temaram berdendang sumbang dalam tawa, hahahahahhahahahahahhahahahhaaaaaaa.

Surut lamunan berbisik diantara dinding malam dan matahari tua mulai suguhkan warna lembayung. Lalu lalang wajah satir dihadapan cermin, solek senyuman hiasi mata, sisakan dunia basa-basi, aku menari berkeliling menerka segala pigura lukisan dengan bentuk tiada beraturan. Lidah api anggun terangi sudut tiang berdiri keangkuhan, dan meja besar, dan singgasana pualam menatap dingin. Lilin-lilin ketulusan dipadamkan, ruangan pun penuh riuh tepuk tangan tawa, hahahahahahahahahahahahaha.

Aku pun terbahak sampai serak.

Melodi memburu bunyinya menyusup relung perangai pesta kemunafikan, semua memandang apatis, nurani sekedar dongeng bagi pandir di tengah kebuasan hari penuh manipulasi. Aku tertawa terhuyung mencoba meraba arah, hahahahahahahahahhaha, nada-nada itu memaksaku lagi menari seraya suguhkan secawan anggur harum penuh sehawa api, lagi dan lagi, hahahahahahahahahahaa, bibirku kelu mataku sayu. Lantai penuh hentak kaki, karam tawa, hahahahahahahahahahaha, tawaku kepingan terhampar ke semua penjuru ruang.

Ayo tertawa, hahahahahahahahaaa, apakah hari akan peduli, memilih ialah kebebasan, tapi seringkali pilihan membatasi dirinya sendiri, seperti boneka di atas panggung sandiwara, hahahahahhaahahhahaha, jadi tak perlu sungkan, tertawalah, hahahahahahahahaha, lihat waktu pun mentertawai aku, hahahahahhahahahahahhaha, aku muak, aku tertawai diri sendiri, hahahahahahahahahaha, hahahahahahahahhahaha, hahahahahahahahahaha,

Aku mengeluh, aku bersimpuh…

Haaaaaaaaaaaaa, haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…

Dan tawaku pun,

Menangis !

(CM/141209)

Pray for Love

Kesekian kalinya kupintakan baiknya harap bagi jiwaku dalam genggamanMu. Ini jemari terentang menyuguh isi hati dalam hening sukma yang mengembara dalam lautan keagunganMu. Bilakah Kau, perkenankan aku miliki anugrah cinta seorang kekasih. Bila teguh diriku juga dirinya nyata keikhlasan akan arti merindu segala kuasaMu. Bila dirinya ialah muara bagi sepiku, sehingga hadirnya ialah penawar bagi kehampaan rasa yang kemarin pernah penjarakanku dalam waktu, sehingga dirinya bagiku adalah keteduhan bagi letih jalan terjal mendaki. Tuhanku, mohon Kau berkenan segerakan tibanya seorang kekasih. Adalah dia yang anggun pada kesantunan pekerti, membaca diriku dengan kesederhanaan. Adalah dia yang dapat menempatkan kemuliaannya pada perkara kebaikan, adalah dia yang jujur mencintaiku, adalah dia yang bisa mengenggam dunia dalam tangannya dan bukan dalam hatinya.

Tuhanku yang menyayangiku, tunjukan padaku arah melangkah agar kuraih kekasihku dengan segala kemurahanMu, dengan segala restuMu. Sebab sejauh apapun kukejar dirinya, tanpa izinMu tiada pernah bisa kuasaku dapati cintanya. Hanya dengan kehendakMu asmara ini kan bertemu. Tuhanku, dalam ramainya hari diputaran bumi, lepaskan segala keraguan yang hantui ketulusanku, jangan Kau biarkan aku terpedaya pada perihal kecantikan semata. Jadikan alasanku mencintainya karena keberadaan cintaMu dihatinya, jadikan alasanku menyayanginya karena jerih upayanya untuk dekat mengenalMu, mengenal karuniaMu.

Tuhanku yang tahu segala isi hati, musim demi musim berganti, perjalanannya mengisyaratkan bilamana senjaku tiba. Banyak sudah kuutarakan rasa, bila Kau beri segala inginku, maka amanah bagiku untuk menjaganya dan iringi selalu dalam naunganMu. Namun jika belum jua pintaku tiba, tautkan kesabaran dan keikhlasan, sehingga aku bisa memantaskan diri menerima pemberianMu pada saatnya nanti. Tuhanku hanya padaMu kutujukan segala cinta dan harapan, tanpa kasihsayangMu aku bukan apa-apa lagi.

(CM/251109)

In Her Silent

Aku memang berharap kau akan membaca tautan kata-kata ini. Adalah kau wanita yang kutemui dan kukagumi ayu parasmu. Begitu tak pernah segan untuk kumemandang, bahkan mungkin kau juga tahu saat kita saling mencuri pandang, hingga tak kita sadari mata kita saling berbicara. Inginku berbagi segenap perasaan ini, temui asmaraku dalam hatimu. Inginku mendengar kau bicara dekat, senyumanmu, tawamu. Tapi mungkin kesalahanku telah berharap banyak padamu, akan kehangatan kasih yang dapat kumiliki. Sehingga aku bertanya sendiri, salah apa yang kuperbuat hingga kau acuhkan diriku. Lihatlah aku lebih dalam dan jangan terburu-buru samakan aku dengan sebagian atau kebanyakan lainnya. Apalagi menyerap sebentuk prasangka lingkungan yang kadang tidak tepat memberitakan perihal diriku. Sebab kita memang tak pernah bisa memaksa setiap orang beranggapan baik, meski sudah berhati-hati dalam berucap dan bertingkah laku. Lihatlah aku lebih dalam. Aku ingin menuliskan betapa berharganya diriku ini agar menjadi bukti bahwa aku tidak pantas kau acuhkan.

Aku berharap kau yang cantik masih membaca tautan kata-kataku ini. Kau yang mungkin belum tahu betapa perjuanganku menghindari cara-cara buruk dalam pekerjaanku, sampai aku merasakan keterasingan, sampai aku merasakan disisihkan, tapi aku tahu Tuhan justru mengasihiku dengan menempa kesabaranku ini. Kau yang berparas ayu yang mungkin selintas menilai aku kecil. Benar aku memang orang kecil, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku membesarkan jiwaku dengan bersahabat pada kebaikan. Meski dimasanya hal baik itu terasa tidak lazim dalam lingkungan yang sedikit demi sedikit mulai meninggalkannya. Aku akan berdiri menyuarakan hal baik itu, meski hanya sekedar berbisik, sebab itu adalah bentuk pengabdianku pada Tuhan. Lihatlah diriku lebih dalam, aku tidak senang melihat ketidakadilan, menyepelekan orang, berlaku sewenang-wenang dengan orang kecil. Aku tidak suka dengan orang yang menahan hak orang lain. Sehingga orang merasakan penderitaan dan kesedihan. Aku memang orang kecil sehingga aku turut merasakan, sehingga semampu aku bisa membantu, bisa menyuarakan. Duhai cantik yang masih saja membaca tautan kata-kataku ini dan kau mulai berpikir bahwa aku adalah pribadi yang kaku dan terlalu serius. Sebagian adalah benar, sebab aku dibesarkan bukan dalam kemewahan, maka aku dituntut berjuang keras meraih cita-citaku, maka aku menatah diriku sendiri selalu belajar akan luasnya arti anugerah kehidupan ini. Ketahuilah bahwa aku pun senang tertawa, bergurau dengan teman, bercengkrama dengan kesederhanaan banyak orang, menikmati canda dan senyuman sanak kerabat, bergembira melihat anak-anak kecil yang riang bermain, juga bangga melihat pelajar bergegas menuju sekolahnya.

Duhai adinda manis yang mungkin meragukan perasaanku dan aku masih saja mengingatmu, menyebut namamu dalam doaku. Lihatlah aku lebih dalam, hingga kau berpikir kembali untuk mengacuhkan aku, hingga kau mulai bisa mengartikan tatapanmu padaku yang kadang kau sembunyikan dari jauh. Aku tak bisa memaksakan nyata asmara milikku untuk kau miliki bagimu. Setidaknya kau bisa mengerti, bahwa aku tidak sebagaimana prasangka, tidak sebagaimana yang kau sangka, hingga kau tak lagi mengacuhkan aku. Inilah perasaanku padamu, kuharap kau pun jujur dengan perasaanmu.

A Learner

Ku saksikan perjalanan dalam pandangan mata dan kusisipkan di bilik rongga jiwa akan segala apa yang kubaca di wajah dunia. Ku pautkan tekad bahwa aku ingin menjadi sebaik pribadi demi damai hati sebagaimana yang Tuhan janjikan. Ku mohonkan ampunan padaNya sebab tiada henti melimpahkan karunia yang seringkali tiada pernah ku peduli, bahkan saat ku tahu bahwa setiap uji ialah bentuk kasihsayangNya, supaya aku kembali pada jalanNya, supaya aku lebih siap menjalani kejamnya hidup, masih saja aku menggerutu dan lancang menuntut perhitungan. Padahal tak pernah mampu ku hitung segala detak jantung yang telah memompa darahku mengalir ke seluruh tubuh ini. Padahal tak pernah bisa ku ganti setiap hisapan udara yang masuk ke dalam paru-paruku.

Aku sekedar pembelajar pada sekolah hidupNya. Aku belajar kemuliaan yang dari keikhlasan mengikuti jalan tuntunanNya. Jalan kebaikan yang kadang membuatku letih dan tertatih. Jalan sepi penuh api dan duri dan sepertinya aku hanya berjalan sendiri. Saat keserakahan merayuku dan aku bertahan untuk tidak mengambil apa yang bukan milikku. Saat kejengkelan menghantuiku dan aku berusaha untuk bisa memaafkan. Saat kecewaku memuncak dan aku harus bisa meredam amarahku. Saat aku tak dihargai sebagai pribadi dan aku berusaha tersenyum dalam kekesalanku. Saat aku bertanya pada Tuhan, adakah salah jalan bagi kaki-kaki kecilku yang seakan terengah-engah menempuh ini semua. Dia pun hadirkan tanya tersirat padaku diantara gugusan bintang dan cahaya matahari yang masih terbit dari timur. Diantara ketekunan orang yang mendorong gerobak lantas menunggu pembeli seharian di bawah teriknya siang. Diantara kesabaran orang yang memanggul dagangan masih mencari rezeki di tengah malam. Atau seorang ibu yang pagi-pagi buta berangkat ke pasar untuk berjualan demi menafkahi anak-anaknya. Aku tak bisa menjawabnya.

Masih begitu banyak hal yang tidak aku ketahui. Pada tuntunanNya-lah setiap jalan harus bisa kulalui meski mendaki, terjal, dan penuh aral. Sebab setiap kesulitan, denganNya selalu disertai segala kemudahan. Sebab setiap ujian, denganNya selalu disertai ilmu dan keutamaan. Sebab setiap keluhanku, hanya padaNya ku berharap. Sebab dariNya aku, padaNya pula segala kukembali.

(CM/190909)

A Listener

Aku mengerti nyanyi hembus angin yang iramanya menerpa tangkai bambu dan menyentuh bahu dahan hingga embun sahaja itu menyapa tanah basah di pagi hari. Aku mengerti senandung sayap-sayap kenari yang genit menari di bawah kanopi daun saat lembut matahari menyentuh memberi peluk kehangatannya. Aku mengerti untaian tembang sungai kecil yang arusnya terbelah di batu lantas turun menggenangi dataran menyorong-nyorongkan bunga warna kecil seperti hendak mengajaknya bermain. Aku mengerti lirih melodi bintang malam yang teratur berkerlipan bersahutan satu dengan lainnya, satu dengan ratusan, satu dengan ribuan, mungkin lebih dari itu. Aku coba membaca setiap rangkaian nada-nada hati. Namun semakin kulelap menerjemahkan, semakin sulit kupahami. Aku meninggikan lagu keinginan diri sampai batas langit, terus sampai lantainya, menuju tirai-tirai tipisnya.

Waktu pun turun mendendangkan lagu keinginanku dengan lirih. Hingga telingaku meraba-raba dalam ruang akan melodi apa yang terdengarkan. Melodi yang sulit kupahami dan kucoba mendendangkannya kembali. Ini bukan lagu yang kuingin, ataukah hasrat keangkuhanku yang telah menutupi terang telingaku. Aku seperti pendengar yang dungu, seperti pemerhati yang tak peduli, seperti pemenang yang jadi pecundang. Tak ada yang salah dengan langit, hanya telinga dan ruang hatiku yang belum bisa menerjemahkan keindahan lagu-lagu itu. Terlalu banyak keangkuhan melemahkan diriku, menutupi pori-pori kepekaanku akan rasa kesyukuran. Aku malu dengan keinginanku sendiri, aku malu dengan alam yang selalu bisa menerjemahkan nada-nada kasih itu. Aku malu belum mampu mendendangkan nada-nada sederhana dalam jiwa, yang semestinya bisa meredam nada-nada fatamorgana.

(CM/240809)

Wanderer Letter

Bagaimana bila mencari kesejatian cinta kepada angun biru langit raya, sementara hati ini menggerutui awan abu-abu yang sedia menghamparkan hujan, berkeluh pada butiran air saat membasahi jalan dan dedaunan, padahal darinya tanah kering mendapati bakti bagi ruang tumbuh bunga dan perdu. Bagaimana jua mengharap tulus cinta kepada elok samudera, sementara keluh senantiasa mengiringi likuan sungai, padahal mata air pegunungan itu tak kan pernah sampai menyentuh mutiara tanpa melalui jalan panjang alirnya. Kita selalu saja menuntut kesempurnaan cinta diantara batas-batas keindahan dan kemewahan. Kadang kita terlalu lama menunggu diatas dipan yang kita sendiri ragu apakah angan atau harapan. Kita menapik setiap perhatian yang berkunjung, yang coba menawarkan segenggam kasih. Seberapa angkuh kita pun memastikan diri untuk acuh, seraya berujar bahwa sepantasnya kita mendapati lebih baik dari ini. Batas-batas keindahan dan kemewahan yang kita ciptakan sendiri telah menjadi penjara. Sedangkan waktu seperti batu menghempas, menghujam tubuh, memberi bekas-bekas usia, coba menggugah kita bahwa nilai kepantasan yang kita takar dengan keindahan dan kemewahan itu, tak pernah ada. Kita inginkan biru langit, sedangkan kita hanya penakut yang bersembunyi dibalik dahan saat hujan datang. Kita dambakan samudera dan mutiaranya, sedangkan kita tak pernah tahu kemana arah bermuaranya sungai-sungai itu. Kita hanya pengelana fakir yang terlalu banyak menikmati fatamorgana, sambil melukis istana dengan bayang-bayang di atas pasir, saat kita berleha di sisi oase. Kita tak bisa menunggu cinta, kita tak bisa lama berpenjara, sebab kita bisa berlari dideru derasnya hujan, kita bisa riang berenang di bibir sungai, dan biarkan batas-batas itu sirna. Kita hanya pengelana fakir yang tak perlu jauh mencari atau membuat batasan, sebab cinta terlalu angun bagi biru langit, terlalu elok bagi raya samudera, terlalu indah dari keindahan, terlalu mewah dari kemewahan, dan terlalu misteri dari diri kita sendiri. Kita hanya belajar mencinta, dan saat rasa itu datang, lainnya ialah tiada.

(CM/070409)

A Lover Fever

Sebab cinta itu, kudapati wajahmu disetiap sudut waktu. Buat kerinduan sangat, tak kubiarkan sepi hanyutkanmu. Kurangkai asmara meski hari tak bersahabat dengan kita, meski bintang tak lagi perlihatkan sinarnya, kan ku bisikan syair keindahan hati. Ku muliakan jiwamu dihadapan langit dan ku persembahkan mahkota ratu di atas singgasana sukma diantara rangkaian taman sejuta bunga

Kubentangkan sayap untuk cita-citamu, kutengadahkan tangan tak kubiarkan kau terjatuh. Kulapangkan pundakku untukmu bersandar, dengarkan semua ceritamu, meski harus lalui 1001 malam, menangkap getaran kasih dari matamu, bawa kedalam jiwa, kutuliskan nama. Kubingkai dengan keabadian, hingga tiada lekang meski ribuan musim menerpa. Kujaga bersama ketulusan, ku tak peduli tahun demi tahun kikis daya ini, renggut raga ini, karena hanya padamu, terlengkapi perihal diri. Bila binar rembulan duduk bersamamu , bila derai hujan tak menusuk dingin. Bila amarahku padam karena senyumanmu, bila lara berlalu saat kau rengkuh jemariku, nasihati dengan santun kata-katamu. Bila pedulimu berikan arti akan kesahajaan mampu bahagiakan meski tiada materi dimiliki, tiada tahta didapati. Cintamu melebihi cintaku pada diriku sendiri, telah kau beri cinta melebihi dari seisi dunia maka bagaimana lagi coba kulukiskan. Dirimu begitu angun, begitu meliputi setiap keindahan.

(CM/300109)

Harmony Without Envy

Saat kata-kata menggema, memecah angkasa, pekik kebebasan mendera deras dari lubuk hati membumbung ke alun-alun langit. Tumpah bersama jutaan bahkan ribuan angin yang sama yang mengalir dari setiap penjuru dunia. Sedari mulanya jiwa tercipta, adalah merdeka. Mengeliat menatap segala bentuk keserakahan dan kemunafikan. Begitu hebatnya setiap bentuk perjuangan ditujukan untuk membangun kebebasan, begitu teguhnya janji memelihara harkat dan hakikat kehidupan. Namun keangkuhan mampu meniadakan bait-bait suci kedamaian hati. Menghancurkan sendi-sendi purba yang semenjak adanya memberi pelajaran akan kebersamaan yang patutnya lestari. Kebebasan milik setiap jiwa-jiwa yang lahir merdeka. Penentangan akannya adalah penentangan bagi kehidupan. Perengutan akannya adalah kebencian tanpa berujung. Bahkan menjelmakan kebencian baru yang patah tumbuh hilang berganti. Generasi ke generasi. Semua hanya bermuara pada kemusnahan. Mereka yang sejati akan terus tegap berdiri pada yang benar. Pada keberpihakan akan titah langit, titah hidup berdampingan dalam harmoni, dalam toleransi.

CM/200109

Heaven Her Own

Kemudian rentetan cerita kemarin pun berduyun-duyun datang dalam ruang ingatan. Scene demi scene melintas perlahan, bahkan imaji mengali lebih dalam, jauh ke pelosok masa kanak-kanak, yang semakin kabur dan terlupakan. Menerawangi rasa dalam timangannya, bagaimana ia membisikan manis ucapan sayang, bagaimana ia mendendangkan lagu pengantar tidur. Telah ia limpahkan seluruh hidup pada si buah hati, relakan waktu mengikis tenaganya. Terjaga bersama malam, saat dunia terlelap, sambil memandang dan menitipkan doa supaya kelak, buah hatinya membawa kebaikan bagi sesama. Kesabaran itu terus mengiringi hari, minggu, bulan, dan tahun. Semakin berlalu semakin menebal cinta dan harapan. Semakin rimbun ia menaungi tubuh kecil yang merangkak dan mulai berdiri. Lantas melangkah, berlari kesana-kemari. Besar peduliny, tak ingin dunia mempecundangi, ia menata pribadi buah hati dengan ilmu, dengan norma, dengan batas-batas dogma yang terkadang terasa mengungkungi kebebasan. Semua karena besar cintanya tak ingin si buah hati terluka diliarnya dunia.

Kedewasaan untuk memuliakan kini diuji, si buah hati tak bisa lagi disembunyikan dari dunia. Ia relakan melepas buah hatinya menghadapi kejam dunia. Meski resah selalu datang, dapatkah si buah hati berdiri dalam amukan zaman. Tantangan pun menyeringai siap menerkam, sisi-sisi gelap tenang sembunyi bagai ranjau menunggu mangsa. Belantara kota memanjakan, merayu setiap penghuni, aktualisasi diri tak lagi lahir dari prestasi, semua diganti topeng. Kesibukan mengikis rasa peduli, menjelma sekat-sekat pembatas kerinduan yang mestinya terus terjaga. Seiring berlalu waktu, si buah hati kini berani menyanggah kata-katanya, menentang perintahnya, bahkan sempat melukai perasaannya. Tak lagi ingat segala nasihat. Ketika itu datang beruntun problematika hidup, keterpurukan, benturan, kelimbungan, dan terhempas, dunia menyayat dan mencabik. Terngiang kembali suara lembut yang sempat diacuhkan. Nada-nada yang dianggap sumbang dan hanya menghalangi langkah kebebasan. Nasihat-nasihat yang pernah dicibirkan, digerutui, dicemooh, dibiarkan menguap bersama kesal helaan nafas. Kini mulai terbukti segala materi tak pernah bisa membeli kebahagiaan dalam diri.

Dan keterpautan jiwa itu, membuatnya kembali meraih si buah hati, menegadahkan tangan menyambut remuk redam itu, menyambut air mata dan segala luka. Membasuh keluh dengan tatap sayangnya dan memberi kembali harapan. Meski telah banyak si buah hati mengecewakannya. Namun cintanya selalu bersemi sepanjang jalan, sepanjang zaman, tak pernah lekang. Selalu hatinya terbuka sebagai tempat berpulang, tempat merenung kembali akan sesungguh-sungguh arti kebahagiaan. Keikhlasan, pengorbanan yang tak pernah pintakan pamrih. Bagaimana jerih payah membesarkan. Menuntun berjalan, mengajari bersepeda, memandu mengeja huruf, memandikan, menyiapkan sarapan, mengobati sakit, menyiapkan bekal, menjahitkan seragam yang copot kancingnya, membelikan buku, menyemangatinya untuk menjadi juara kelas, menunggunya pulang larut malam.

Ia, seperti matahari bagi bumi, begitu anggun merupa fajar, begitu tegas memberi terik siang, begitu elok melaku senja, bahkan dalam rintik hujan pun, ia mampu menjadi pelangi. Sebagaimana jua karang di lautan, ia begitu kokoh didera arus, silih berganti masalah bagai gelombang, pasang surut, namun jauh didasar ia masih menyimpan keindahan koral, membuat rumpon tempat ikan kecil berlindung. Dan ia bagai mawar, menjaga kuncup penerusnya dengan duri-duri tajam, sehingga liar dunia tak sanggup membuat layu, sementara doa-doa diterbangkan bersama keharuman, agar kelak keharuman itu, sejati melekat dari bumi sampai langit. Hingga kelak ia mewariskan si buah hatikeagungan akan surga, yang ada di bawah telapak kakinya.

(CM/221208)

Austerity of Austere

Langkah waktu tanpa pamrih beri peneguh setiap sisi ruang bumi yang terlewati. Pergantian musim menggurui semangat segala macam perubahan yang kadang terasa membingungkan. Bahkan menuntut arang menjadi sebongkah permata, atau segengam pasir kuarsa untuk selapis kaca. Safir dan Mirah Delima, emas ataukah jamrud, dilahirkan melalui rahim kesederhanaan bumi. Kemuliaan diberikan mengiringi nama-nama mereka, karena sebuah proses untuk menjadi telah mereka lalui dideraan zaman. Seperti biduk yang tak bisa memilih angin, namun layar dan haluanlah yang memantaskan diri sebagai kendali. Meski keluhan demi keluhan bergelayut, dan doa-doa ratap meminta kesemestiannya, mau begini, mau begitu, seakan seenaknya saja memaksa agar terkabulkan saat itu juga. Melupakan awal kesederhanaan yang manis, ketika hanya ada tekad menjadi yang terbaik, tanpa peduli merupa intan mutu manikam ataukah pualam. Lupakan bahwa harga akan sebuah nilai kemuliaan datang sebagai tamu yang sekedar singgah lantas kembali pergi. Sementara kesederhanaan batu kali, justru mampu jadi peletak kekokohan dasar akan pondasi, sementara pasir dan kerikil, juga batu bata merah itu sanggup tegap berdiri menjadi dinding pelindung. Lantas tanah merah yang terinjak dan tak terpedulikan merupa atap genteng tertata rapi, menghalangi tikaman matahari dan sayatan pisau-pisau hujan.

Memilih kehidupan adalah angan-angan saat kelemahan datang. Seringkali nasib dan keadaan menjadi sasaran empuk untuk dihujat, dipersalahkan. Seakan sebuah pementasan sandiwara, setiap pemain meminta peran aktor yang menyenangkan. Aktor rupawan, penuh pujian, harta kelimpahan, tahta bersesuaian. Melupakan sebuah kesederhanaan yang sesungguhnya adalah kekuatan. Kesederhanaan yang sederhana, bukan terawang idealisme atau kekakuan dogma, bukan pula sucinya kesakralan, ataupun laku berbauran profan. Kesederhanaan yang sederhana saja, menjadi yang terbaik, menjadi bagian penuh guna. Karenanya terlalu sering menengadah ke atas akan membuat silau silapnya mata, karenanya patut sejenak merunduk memberi damai kembali pada bumi. Sebagaimana awal dari kesederhanaan itu ada dan tidak bisa memilih menjadi apa, maka sesungguhnya yang tercipta ialah yang benar-benar terpilih.

(CM/141208)

Soul of Fire

Jiwa api tertanam pada kayu, yang bila sampai pada tungku, ia membakar udara, berubah jadi cahaya. Padanya kaki berpijak pada bumi, isyaratkan sahaja, rentasi jalan panjang matahari. Ia adalah matahari kecil yang menyusup atap langit, menuruni awan, lalui puncak lereng gunung. Hingga tiba di atas dahan, disemai dalam tunas, lantas mengubah bentuk dalam kuncup. Keagungan matahari pun redup saat telaga membasuh akar-akarnya. Murnikan kembali tibanya ia diasuhan bumi, menjaga harmoni. Dahan-dahan mudanya bernyanyi, menari bersama angin, menyapa kicauan burung, menjadi tempat berlindung bagi sayap-sayap kecil. Terlupakan keterhempasannya dari ranah semesta, keterhempasan yg tak pernah dipertanyakannya, atau mungkin memang tak ada yg perlu dipertanyakan. Sebab jawaban-jawaban telah tersedia, terhampar acak di depan mata, terserak bagai kepingan puzzle. Terkadang semua kepingan itu sekejap tersusun rapi dalam satu sentuhan, bernama keikhlasan. Sehingga keterhempasan pun dipahaminya sebagai perihal cara untuk menjadi.

Sejatinya sebatang kayu memang tak pernah bisa menjelma matahari. Sejatinya sebatang kayu tak menguasai angkasa, tak berbincang pada rembulan, bahkan tak pernah bisa merayu bintang. Namun pada kayu telah tertanam jiwa api, dengannya ia menjadi dahan dan ranting, menjadi bakti, menjadi keteduhan. Ia pun mampu bersenandung pada bumi, menyapa rumput ditepi sungai, bersenda gurau dengan warna bunga dan kupu-kupu manja. Ia jiwa api telah tertanam pada kayu. Sejatinya jua ia adalah jiwa matahari, yang bila sampai pada tungku, ia akan membakar udara, dan segera ia menjelma jadi cahaya.

(CM/201008)

Flower Seeker

Seperti seorang pencari bunga, ia bertanya pada setiap orang tentang, dimana kebun bunga terindah. Sepanjang jalan meminta petunjuk arah, mendengarkan kisah, sekali-sekali berhenti, sambil menatap matahari. Bayang-bayang waktu bergelayut erat, merengek, mengais tipis massa dan membuangnya dalam angin. Seperti seorang pencari bunga, ia melangkah berkawan pasti dan ragu, berkawan harap dan cemas, menuju kebun bunga terindah itu. Semakin mendekat, semakin limbung, bimbang, kepastian dan keraguan jadi satu, harap dan cemas berseteru jadi abu-abu.

Satu per satu, dilihatnya pengunjung kebun bunga terindah itu. Sebagian dari mereka tertawa bersahaja, sebagian menangis haru, sebagian menunduk kelu, sebagian tersenyum bangga, sebagian lagi tak tahu siapa dirinya lagi. Seperti seorang pencari bunga, ia coba mencari sang pemilik kebun, berharap ditunjuki padanya bunga terindah. Setangkai saja. Setiap lorong, labirin, tepi sudut, ruas-ruas titian, kanal, kolam, bahkan lapang alun-alun, tiada. Tiada jua ditemui tempat sang pemilik kebun. Diperhatikannya raut wajah pengunjung, ditanyanya, tak satu pun dari mereka tahu dimana sang pemilik kebun. Hingga ia terpaku dalam hening, dan membaca dalam cermin bening. Tersirat makna pesan bahwa, "siapa yang kau cari, bunga terindah ataukah sang pemilik kebun?"

Seperti seorang pencari bunga, ia tertawa, tertawai dirinya sendiri. Terbahak diantara hamparan keindahan kebun bunga, diantara harum semerbaknya. Mencari bunga terindah, milik sang pemilik kebun, pemilik yang tak diketahui berada dimana. Tertawanya lagi tak henti, melihat bunga setaman, penuh warna, ada yang tersulur, terjuntai, mengantung, ada yang elok berduri. Tawanya semakin, hingga matanya mengurai air mata. Isak tangis pun sekejap hadir. Hingga pecah hening, ia tajam menatap diri dalam, cermin bening.

Seperti seorang pencari bunga, tak berapa lama, sungging senyum pun melerai tetes air matanya. Sang pemilik kebun itu telah ia temukan. Sang pemilik kebun itu ada dibalik cermin. Setiap pengunjung adalah sang pemilik kebun itu, dan mereka sendiri-lah yang memilih bunga terindah itu.